RSS
You can replace this text by going to "Layout" and then "Page Elements" section. Edit " About "

PENDIDIKAN ISLAM DI INDONESIA

PENDIDIKAN ISLAM DI INDONESIA

Dipostkan Oleh:

Nurul Husnul Khotimah

           Islam adalah agama dakwah, artinya agama yang selalu mendorong pemeluknya untuk senantiasa aktif melakukan kegiatan dakwah. Kemajuan dan kemunduran umat Islam sangat berkaitan erat dengan kegiatan dakwah yang dilakukan oleh para masyarakat dalam menunjang pradaban hidup mereka karena itulah para banyak masyarakat selalu mendapatkan problematika yang bermacam-macam yang datang secara langsung maupun tidak langsung dari komunitas yang dijadikan sebagai sasaran dakwah. 
           Keadaan ini akan menstimulasi terjadinya keterbukaan wawasan dan penguasaan keterampilan dasar yang mereka butuhkan. Masuk dan berkembangnya agama Islam di Indonesia sangat pesat yang dimulai dari masuknya dari daerah Aceh dengan tujuan menyebarkan agama dakwah dengan menjual rempat-rempah.
A. Periode Pada Zaman Belanda 
            Pada tahun 1905 pemerintah Belanda mengeluarkan satu peraturan yang mengharuskan para guru      agama memiliki izin khusus untuk mengajar. Banyak sikap mereka yang sangat merugikan lajunya perkembangan pendidikan agama di Indonesia, misalnya:
  • Setiap sekolah atau Madrasah harus memiliki izin dari bupati/pejabat pemerintahan belanda
  • Harus ada penjelasan dari sifat pendidikan yang sedang dijalankan secara terperinci
  • Para guru harus membuat daftar murid dalam bentuk tertentu dan mengirimkanya secara periodic kepada daerah yang bersangkutan.
        Atas dasar perjuangan dari organisasi Islam, melalui konggres Al-Islam pada tahun 1926 di Bogor, peraturan tentang penyelenggaraan pendidikan islam yang di buat oleh pihak Belanda pada tahun 1905 dihapuskan dan diganti dengan peraturan yang baru yang terkenal dengan sebutan Ordonansi Guru. Menurut peraturan baru ini, izin Bupati tidak lagi diperlukan untuk menyelenggarakan pendidikan Islam. Guru agama cukup memberitahukan pada pejabat yang bersangkutan tentang maksud mengajar. Disamping itu, guru juga disuruh mengisi formulir yang telah disediakan oleh pejabat pemerintahan Belanda yang isinya berupa persoalan  berupa murid dan kurikulum.
         Di sekolah-sekolah Umum secara resmi belum diberikan pendidikan agama. Hanya di fakultas-fakultas hukum telah ada matakuliah Ismologi, yang dimaksudkan agar mahasiswa dapat mengetahui hokum-hukum dalam Islam. Sedangkan dosen-dosen yang memberikan matakuliah Ismologi tersebut pada umumnya bukan orang Islam dengan menggunakan buku-buku atau literature yang dikarang oleh para orentalis.
B. Periode Pada Zaman Jepang
       Keadaan agak berubah, karena ada kemajuan dalam pelaksanaan pendidikan agama di sekolah-sekolah Umum. Hal ini disebabkan karena mereka mengetahui bahwa sebagian besar bangsa Indonesia adalah pemeluk agama Islam, maka untuk menarik simpati dari pemeluk agama Islam maka Jepang menaruh perhatian yang sangat besar terhadap pendidikan agama Islam. Terlebih lagi pada awalnya, pemerintah Jepang menampakan diri seakan-akan membela kepentingan Islam yang merupakan siasat untuk kepentingan perang Dunia II. Masalahnya Jepang tidak begitu menghiraukan kepentingan agama. Untuk mendekati umat Islam Jepang menempuh beberapa kebijakan diantaranya pada jaman Jepang dibentuknya KUA, didirikanya Masyumi dan pembentukan Hisbullah.

           Pada masa pendudukan Jepang, ada satu hal istimewa dalam dunia pendidikan, yaitu sekolah-sekolah telah di selenggarakan dan dinegerikan meskipun sekolah-sekolah suasta lain seperti Muhammadiyah, Taman Siswa dan lain-lain diiziankan terus berkembang dengan pengaturan dan diselenggarakan oleh penduduk Jepang. Di Sumatra, organisasi-organisasi Islam menggabungkan diri dalam majelis Islam tinggi. Kemudian majelis tersebut mengajukan usul kepada pemerintah Jepang, agar di sekolah-kolah pemerintah diberikan pendidikan agama sejak sekolah rakyat tiga tahun dan ternyata usul tersebut disetujui dengan syarat tidak diberikan anggaran biaya untuk guru-guru agama.

       Mulai saat itu maka pendidikan agama secara resmi boleh diberikan di sekolah-kolah pemerintah, namun hal ini hanya berlaku di pulau Sumatra saja. Sedangkan di daerah-daerah lain masih belum ada pendidikan agama di sekolah-sekolah pemerintah, yang ada hanya pendidikan budi pekerti yang didasarkan atau bersumber pada agama juga.
C. Pendidikan Islam Pada Masa Orde baru
          Kalau dirujuk kebelakang, memang sejak tahun 1966 terjadi perubahan besar pada bangsa Indonesia baik itu menyangkut kehidupan sosial agama maupun politik. Pada Orde Baru tekad yang di embank yaitu kembali pada UUD 1945 dan melaksanakannya secara murni dan konsekwen sehingga pendidikan agama memperoleh tempat yang kuat dalam struktur pemerintahan.

      Pada masa Orde Baru pendidikan Islam dikembangkan masih dalam batas pemahaman dan pengembangan pengetahuan saja, baru setelah masuk pada abad 21 maka pendidikan Islam lebih difokuskan pada penerapan atau aktualisasi dari ilmu pengetahuan dan selalu didasrkan oleh keimanan dan ketakwaan. Hal ini sesuai dengan beberapa strategi yang diterapkan di sekolah-sekolah guna peningkatan kualitas peserta didiknya baik dari aspek kognitif, afektif, dan psikomotorik sebagai landasan menuju pembaharuan masyarakat islam yang maju.

           Pada masa itu juga banyak jalan-jalan yang ditempuh untuk menyetarakan antara pendidikan agama dan pendidikan Umum. Hal ini bias dilihat dari surat keputusan bersama (SKB) 2 mentri tentang sekolah Umum dan Agama. Dengan adanya SKB tersebut, maka anak-anak yang sekolah agama bias melanjutkan kesekolah yang lebih tinggi. Kemudian untuk mengikis dualisme pendidikan bias dilakukan dengan cara pengintegrasian antara pelajaran umum dan agama, walaupun dualisme itu masalah klasik yang tidak mudah untuk dihapus.

       Tehknik pelaksanaan pendidikan agama di sekolah-kolah umum mengalami perubahan-perubahan tertentu sehubungan dengan perkembangan cabang ilmu pengetahuan dan perubahan system proses belajar mengajar. Pendidikan Islam dengan pendidikan nasional semakin Nampak dalam rumusan pendidikan nasional yaitu pendidikan nasional ialah usaha sadar untuk membangun manusia Indonesia seutuhnya, yaitu manusia yang bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, nilai budaya, pengetahuan, keterampilan, daya estetik, dan jasmaniany sehingga dia dapat mengembangkan dirinya dan bersama-sama dengan sesame manusia membangun masyarakatnya serta membudidayakan alam sekitar.
D. Tokoh-Tokoh Pendidikan Islam di Indonesia

Adapun tokoh-tokoh pendidikan Islam di Indonesia antara lain:

1)    Kyai Haji Ahmad Dahlan (1869-1923)

K.H Ahmad Dahlan dilahirkan di Yogyakarta pada tahun 1869 M dengan nama kecilnya Muhammad Darwis, putra dari K.H Abu Bakar Bin Kyai Sulaiman, khatib di Masjid besar (Jami’) kesultanan Yogyakarta. Ibunya adalah putri Haji Ibrahim, seorang penghulu Setelah beliau menamatkan pendidikan dasarnya di suatu Madrasah dalam bidang Nahwu, Fiqih dan Tafsir di Yogyakarta beliau pergi ke Makkah pada tahun 1890 dan beliau menuntut ilmu disana selama satu tahun. Salah seorang gurunya Syekh Ahmad Khatib. Sekitar tahun 1903 beliau mengunjungi kembali ke Makkah dan kemudian menetap di sana selama dua tahun. 

Beliau adalah seorang yang alim luas ilmu pengetahuanya dan tiada jemu-jemunya beliau menambah ilmu dan pengalamanya. Dimana saja ada kesempatan sambil menambah atau mencocokan ilmu yang telah diperolehnya. Observation lembaga pernah beliau datangi untuk mencocokan tentang ilmu hisab. Beliau ada keahlian dalam ilmu itu. Perantauanya kelauar pulau jawa pernah sampai ke Medan. Pondok pesantren yang besar-besar di Jawa pada waktu itu banyak dikunjungi.


Cita-cita K.H Ahmad Dahlan sebagai seorang ulama adalah tegas, beliau hendak memperbaiki masyarakat Indonesia berlandaskan cita-cita agama Islam. Usaha-usahanya ditujukan hidup beragama, keyakinan beliau ialah bahwa untuk membangun masyarakat bangsa harus terlebih dahulu dibangun semangat bangsa. K.H Ahmad Dahlan pulang ke Rahmatullah pada Tahun 1923 M Tanggal 23 Pebruari dalam usia 55 Tahun dengan meninggalkan sebuah organisasi Islam yang cukup besar dan di segani karena ketegaranya.
2)    K.H Hasim Asy’ari (1971-1947)

K.H Hasim Asy’ari dilahirkan pada tanggal 14 Februari tahun 1981 M di Jombang Jawa Timur mula-mula beliau belajar agama Islam pada ayahnya sendiri K.H Asy’ari kemudian beliau belajar di pondok pesantren di Purbolinggo, kemudian pindah lagi ke Plangitan Semarang Madura dan lain-lain.
Sewaktu beliau belajar di Siwalayan Panji (Sidoarjo) pada tahun 1891, K.H Ya’kub yang mengajarnya tertarik pada tingkahlakunya yang baik dan sopan santunya yang harus, sehingga ingin mengambilnya sebagai menantu, dan akhirnyabeliau dinikahkan dengan putri kiyainya itu yang bernama Khadijah (Tahun 1892). Tidak lama kemudian beliau pergi ke Makkah bersama istrinya untuk menunaikan ibadah haji dan bermukim selama setahun, sedang istrinya meninggal di sana.

Pada kunjunganya yang kedua ke Makkah beliau bermukim selama delapan tahun untuk menuntut ilmu agama Islam dan bahasa Arab. Sepulang dari Makkah beliau membuka pesantren Tebuiring di Jombang (pada tanggal 26 Rabiul’awal tahun 1899 M)
Jasa K.H Hasim Asya’ari selain dari pada mengembangkan ilmu di pesantren Tebuireng ialah keikutsertaanya mendirikan organisasi Nahdatul Ulama, bahkan beliau sebagai Syekul Akbar dalam perkumpulan ulama terbesar di Indonesia.

Sebagai ulama beliau hidup dengan tidak mengharapkan sedekah dan belas kasihan orang. Tetapi beliu mempunyai sandaran hidup sendiri yaitu beberapa bidang sawah, hasil peninggalanya. Beliau seorang salih sungguh beribadah, taat dan rendah hati. Beliau tidak ingin pangkat dan jabatan, baik di zaman Belanda atau di zaman Jepang kerap kali beliau deberi pangkat dan jabatan, tetapi beliau menolaknya dengan bijaksana.

Banyak alumni Tebuiring yang bertebarang di seluruh Indonesia, menjadi Kyai dan guru-guru agama yang masyhur dan ada diantra mereka yang memegang peranan penting dalam pemerintahan Republik Indonesia, seperti mentri agama dan lain-lain (K.H A. Wahid Hasyim, dan K.H Ilyas).

K.H Asy’ari wafat kerahmatullah pada tanggal 25 Juli 1947 M dengan meninggalkan sebuah peninggalan yang monumental berupa pondok pesantren Tebuiring yang tertua dan terbesar untuk kawasan jawa timur dan yang telah mengilhami para alumninya untuk mengembangkanya di daerah-daerah lain walaupun dengan menggunakan nama lain bagi pesantren-pesantren yang mereka dirikan.

3)    K.H Abdul Halim (1887-1962)

K.H Abdul Halim lahir di Ciberelang Majalengka pada tahun 1887. beliau adlah pelopor gerakan pembeharuan di daerah Majalengka Jawa Barat yang kemudian berkembang menjadi Perserikatan Ulama, dimulai pada tahun 1911. yang kemudian berubah menjadi Persatuan Umat Islam (PUI) pada tanggal 5 April 1952 M. Kedua orang tuanya berasal dari keluarga yang taat beragama (ayahnya adalah seorang penghulu di Jatiwangi), sedangkan famili-familinya tetap mempunyai hubungan yang erat secara keluarga dengan orang-orang dari kalangan pemerintah.

K.H Abdul Halim memperoleh pelajaran agama pada masa kanak-kanak dengan belajra diberbagai pesantren di daerah Majalengka sampai pada umur 22 Tahun. Ketika beliau pergi ke Makkah untuk naik haji dan untuk melanjutkan pelajaranya.

Pada umumnya K.H Abdul Halim berusaha untuk menyebarkan pemikiranya dengan toleransi dan penuh pengertian. Dikemukakan bahwa beliau tidak pernah mengecam golongan tradisi ataupun organisasi lain yang tidak sepaham dengan beliau, tablignya lebih banyak merupakan anjuran untuk menegakan etika di dalam masyarakat dan bukan merupak kritik tentang pemikiran ataupun pendapat orang lain.
Pada tanggal 7 Mei 1962 K.H Abdul Halim pulang kerahmatullah di Majalengka Nawa Barat dalam usia 75 Tahun dan dalam keadaan tetap teguh berpegang pada majhab Safi’i.
        Berdasarkan uraian pembahasan di bab II di atas maka penulis dapat menyimpulan bahwa perkembangan Islam di Indonesia sangat pesat yang seperti berbeda pendapat tentang permulaan Islam di Indonesia antara lain: Bahwa kedatangan Islam pertama di Indonesia tidak identik dengan berdirinya kerajaan Isalam pertama di Indonesia mengingat bahwa pembawa Islam ke Indonesia adalah para pedagang, bukan missi tentara dan bukan pelarian politik. Mereka tidak ambisi langsung mendirikan kerajaan Islam.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS


Pendidikan islam pada masa bani abbasiyah dan umaiyah
          A.    Pendidikan Islam pada masa bani abbasiyah

Kekuasaan Dinasti Bani Abbasiyah adalah melanjutkan kekuasaan Dinasti Bani Umayyah. Dinamakan Daulah Abbasiyah karena para pendiri dan penguasa Dinasti ini adalah keturunan Abbas, paman nabi Muhammad SAW. Dinasti Abbasiyah didirikan oleh Abdullah al-Saffah ibn Muhammad ibn Ali ibn Abdullah ibn al-Abbass. Popularitas daulah Abbasiyah mencapai puncaknya di zaman khalifah Harun Al-Rasyid (786-809 M) dan puteranya Al-Ma’mum (813-833 M).
Kekayaan yang dimanfaatkan Harun Arrasyid untuk keperluan sosial, rumah sakit, lembaga pendidikan, dokter, dan farmasi didirikan, Kritik sastra, filsafat, puisi, kedokteran, matematika, dan astronomi berkembang pesat tidak saja di Baghdad tetapi juga di Kufah, Basrah, Jundabir, dan Harran. Pada masa-masa awal sudah ada sekitar 800 orang dokter dengan berbagai kehliannya, apoteker, dan kelengkapan-kelengkapan kesehatan lainnya. Sementara putranya al-Ma’mun, dikenal sebagai khalifah yang cinta ilmu. Pada masanya, penerjemahan buku-buku asing digalakkan. Untuk menerjemahkan buku-buku Yunani, ia memberi gaji penerjemah-penerjemah dari golongan Kristen dan penganut agama lain yang ahli. Ia juga banyak mendirikan sekolah. Salah satu karya besarnya adalah pembangunan Bait al-Hikmah sebagai perpustakaan besar.. dan digunakan juga sebagai pusat penerjemah yang berfungsi sebagai perguruan tinggi dengan perpustakaan yang besar dan menjadi perpustakaan umum dan diberi nama Darul Ilmi” yang berisi buku-buku yang tidak terdapat di perpustakaan lainnya. Pada masa Al-Ma’mun inilah Bagdad mulai menjadi pusat kebudayaan dan ilmu pengetahuan, kekota inilah para pencari ilmu datang berduyun-duyun.

Puncak perkembangan kebudayaan dan pemikiran islam terjadi pada masa pemerintahan Bani Abbas. Akan tetapi, tidak berarti seluruhnya berawal dari kreatifitas bani Abbas sendiri. Sebagian diantarannya sudah dimulai pada awal kebangkitan islam. Lembaga pendidikan sudah berkembang, ketika itu lembaga pendidikan ini terdiri dari dua tingkat :
1.      Maktab/Kuttab dan mesjid, yaitu lembaga pendidikan terendah tempat anak-anak mengenal dasar-dasar bacaan, hitungan dan tulisan, dan tempat para remaja belajar dasar-dasar agama, seperti tafsir, hadis, fiqh, dan bahasa.
2.      Tingkat pendalaman. Para pelajar yang ingin memper dalam ilmunya, pergi keluar daerah untuk menuntut ilmu kepada seorang atau beberapa orang ahli dalam bidangnya masing-masing. Ilmu yang dituntut umumnya ilmu agama, pengajarannya biasanya berlangsung di mesjid-mesjid atau di rumah ulama bersangkutan. Bagi anak penguasa pendidikan bisa berlangsung di istana atau di rumah penguasa tersebut, dengan memanggil ulama’ ahli kesana.
Perkembangan lembaga pendidikan itu mencerminkan terjadinya perkembangan dan kemajuan ilmu pengetahuan. Hal ini sangat ditentukan oleh bahasa Arab, baik sebagai bahasa administrasi yang sudah berlaku sejak zaman Bani Umayah, maupun sebagai bahasa ilmu pengetahuan. Disamping itu kemajuan itu paling tidak, juga ditentukan oleh dua hal, yapitu :
1.      Terjadinya asimilasi antara bangsa Arab dengan bangsa-bangsa lain yang lebih dahulu mengalami perkembangan dalam ilmu pengetahuan. Pada masa pemerintahan bani Abbas, bangsa-bangsa non Arab banyak yang masuk islam. Asimilasinya berlangsung secara efektif dan bernilai guna. Bangsa-bangsa itu memberi saham tertentu dalam perkembangan ilmu pengetahuan dalam islam. Pengaruh Persia, sangat kuat dibidang pemerintahan. Selain itu bangsa Persia banyak berjasa dalam perkembangan ilmu, filsafat, dan sastra. Pengaruh India terlihat dalam bidang kedokteran, ilmu matematika, dan astronomi. Sedangkan pengaruh Yunani masuk dalam banyak bidang ilmu terutama filsafat.
2.      Gerakan terjemahan yang berlangsung dalam tiga fase. Pertama, pada khalifah al-Mansyur hingga Harun al-Rasyid. Pada fase ini yang banyak diterjemahkan adalah karya-karya dalam bidang astronomi dan mantiq. Fase kedua berlangsung mulai masa khalifah al-Ma’mun hingga tahun 300H. Buku-buku yang banyak diterjemahkan yaitu dalam bidang filsafat dan kedokteran. Fase ketiga berlangsung setelah tahun 300H, terutama setelah adanya pembuatan kertas, bidang-bidang ilmu yang diterjemahkan semakin meluas.
        Pengaruh dari kebudayaan bangsa yang sudah maju, terutama melalui gerakan terjemahan, bukan saja membawa kemajuan dibidang ilmu pengetahuan umum. Tetapi juga ilmu pengetahuan agama. Dalam bidang tafsir, sejak awal sudah dikenal dua metode penafsiran, pertama, tafsir bi al-ma’tsur yaitu, interpretasi tradisional dengan mengambil interpretasi dari Nabi SAW dan para sahabatnya. Kedua, tafsir bi al-ra’yi yaitu metode rasional yang lebih banyak bertumpu kepada pendapat dan pikiran dari pada hadis dan pendapat sahabat. Kedua metode ini memang berkembang pada masa pemerintahan Abbasiyah, akan tetapi jelas sekali bahwa tafsir dengan metode bi al ra’yi (tafsir rasional), sangat dipengaruhi oleh perkembangan pemikiran filsafat dan ilmu pengetahuan, hal yang sama juga terlihat dalam ilmu fiqh, dan terutama dalam ilmu teologi perkembangan logika dikalangan umat islam sangat mempengaruhi perkembangan dua bidang ilmu tersebut.
Perhatian dan minat orang Arab Islam pada masa paling awal tertuju paada bidang ilmu pengetahuan yang lahir karena motif keagamaan. Kebutuhan untuk memahami dan menjelaskan al-Qur’an, kemudian menjadi landasan teologis yang serius. Interaksi dengan dunia kristen di Damaskus telah memicu munculnya pemikiran spekulatif teologis yang melahirkan madzhab pemikiran Murji’ah dan Qodariyah. Untuk mempelajari teologi di sediakan madrasah yang sudah diakui oleh negara yaitu Madrasah Nizhamiyah, khususnya untuk mempelajari madzhab syafi’i dan teologi asy’ariyah.. Bidang kajian berikutnya adalah Hadits, yaitu perilaku, ucapan, persetujuan Nabi. Yang kemudian menjadi sumber ajaran paling penting, awalnya hanya diriwayatkan dari mulut kemulut, kemudian direkam pada abad ke-2 hijriyah.
Lahirnya ilmu kalam atau teologi itu dikarenakan dua faktor :
1.      Untuk membela islam dengan bersenjatakan filsafat,
2.      Karena semua masalah termasuk masalah agama telah berkisar dari pola rasa ke pola akal dan ilmu.

Faktor yang menyebabkan pesatnya perkembangan sains dan filsafat di masa dinasti Abassiyah, diantarannya adalah :
1.      Kontak antara slam dan Persia menjadi jembatan perkembangan sainsdan filsafat karena secara kultural persia banyak berperan dalam pengembangan tradisi keilmuan Yunani.
2.      Etos ke ilmuan para khalifah Abbasiyah tampak menonjol terutama pada dua khalifah terkemuka yaitu Harun Ar-rassyid dan Al-Ma’mun yang begitu mencintai Ilmu.
3.      Peran keluarga Barmak yang sengaja dipanggil oleh khalifah untuk mendidik keluarga istana dalam hal pengembangan keilmuan.
4.      Aktifitas penerjemahan literatur-literatur Yunani kedalam bahasa Arab demikian besar dan ini didukung oleh khalifah yang memberi imbalanyang besar terhadap para penterjemah.
5.      Relatif tidak adanya pembukaan daerah dan pemberontakan-pemberontakan menyebabkan stabilitas negara terjamin sehingga konsentrasi pemerintah untuk memajukan aspek sosial dan intelektual menemukan peluangnya.
6.      Adanya peradaban dan kebudayaan yang heterogen di Baghdad menimbulkan proses interaksi antara satu kebudayaan dan kebudayaan lain.
7.      Situasi sosial baghdad yang kosmopolit dimana berbagai macam suku, ras dan etnis serta masing-masing kulturalyang berinteraksi satu sama lain, mendorong adanya pemecahan masalah dari pendekatan intelektual.

Perkembangan peradaban pada masa daulah Bani Abbasiyah sangat maju pesat, karena upaya-upaya dilakukan oleh para Khalifah di bidang fisik. Hal ini dapatihat dari bangunan-bangunan yang berupa:

a. Kuttab, yaitu tempat belajar dalam tingkatan pendidikan rendah dan menengah.
b. Majlis Muhadharah,yaitu tempat pertemuan para ulama, sarjana,ahli pikir dan
pujangga untuk membahas masalah-masalah ilmiah.
c. Darul Hikmah, Adalah perpustakaan yang didirikan oleh Harun Ar-Rasyid. Ini
merupakan perpustakaan terbesar yang di dalamnya juga disediakan tempat ruangan
  belajar.

d. Madrasah, Perdana menteri Nidhomul Mulk adalah orang yang mula-mula mendirikan sekolah dalam bentuk yang ada sampai sekarang ini, dengan nama Madrasah.
e. Masjid, Biasanya dipakai untuk pendidikan tinggi dan tahassus.
Pada masa Daulah Bani Abbassiyah, peradaban di bidang fisik seperti kehidupan
ekonomi: pertanian, perindustrian, perdagangan berhasil dikembangkan oleh Khalifah Mansyur.

C. Tokoh-tokoh/ Para ilmuwan zaman Abbasiyah
1.  Bidang Astronomi
• Al-Fazari, astronom Islam yang pertama kali menyusun astrolobe
2.Bidang Kedokteran
•Ibnu Sina (Avicenna), bukunya yang fenomenal yaitu al-Qanun fi al-Tiib. 
Ia juga berhasil menemukan sistem peredaran darah pada manusia.
3.Bidang Optika
•Abu Ali al-Hasan ibn al-Haythani (al-Hazen), terkenal sebagai orang yang menentang pendapat bahwa mata mengirim cahaya ke benda yang dilihatnya.
4.Bidang Kimia
Jabir ibn Hayyan, ia berpendapat bahwa logam seperti timah, besi, dan tembaga dapat diubah menjadi emas atau perak
5.Bidang Matematika
•Muhammad ibn Musa al-Khawarizmi, yang juga mahir dalam bidang astronomi. Dialah
6.Bidang Sejarah
•Al-Mas’udi, diantara karyanya adalah Muruj al-Zahab wa Ma’adin al-Jawahir
•Ibn Sa’ad
7.Bidang Filsafat
•Al-Farabi, banyak menulis buku tentang filsafat, logika, jiwa, kenegaraan, etika, dan interpretasi terhadap filsafat Aristoteles
8.Bidang Tafsir
•Ibn Jarir ath Tabary
9.Bidang Hadis
•Imam Bukhori
10.Bidang Kalam
•Al-Asy’ari
11.Bidang Geografi
•Syarif Idrisy
12.Bidang Tasawuf
•Shabuddin Sahrawardi

2.      Pendidikan pada masa umaiyah
Pada masa dinasti Umayyah pola pendidikan bersifat desentrasi. Desentrasi artinya pendidikan tidak hanya terpusat di ibu kota Negara saja tetapi sudah dikembangkan secara otonom di daerah yang telah dikuasai seiring dengan ekspansi teritorial.Sistem pendidikan ketika itu belum memiliki tingkatan dan standar umur. Kajian ilmu yang ada pada periode ini berpusat di Damaskus, Kufah, Mekkah, Madinah, Mesir, Cordova dan beberapa kota lainnya, seperti: Basrah dan Kuffah (Irak), Damsyik dan Palestina (Syam), Fistat (Mesir). Diantara ilmu-ilmu yang dikembangkannya, yaitu: kedokteran, filsafat, astronomi atau perbintangan, ilmu pasti, sastra, seni baik itu seni bangunan, seni rupa, maupun seni suara.
Pola pendidikan Islam pada periode Dinasti Umayyah telah berkembang bila dibandingkan pada masa Khulafa ar Rasyidin yang ditandai dengan semaraknya kegiatan ilmiah di masjid-masjid dan berkembangnya Khuttab serta Majelis Sastra.  Jadi tempat pendidikan pada periode Dinasti Umayyah adalah:
1.      Khuttab
Khuttab atau Maktab berasal dari kata dasar kataba yang berarti menulis atau tempat menulis, jadi Khuttab adalah tempat belajar menulis. Khuttab merupakan tempat anak-anak belajar menulis dan membaca, menghafal Al Quran serta belajar pokok-pokok ajaran Islam
2.   Masjid
Setelah pelajaran anak-anak di khutab selesai mereka melanjutkan pendidikan ke tingkat menengah yang dilakukan di masjid.  Peranan Masjid sebagai pusat pendidikan dan pengajaran senantiasa terbuka lebar bagi setiap orang yang merasa dirinya tetap dan mampu untuk memberikan atau mengajarkan ilmunya kepada orang-orang yang haus akan ilmu pengetahuan.
Pada Dinasti Umayyah, Masjid merupakan tempat pendidikan tingkat menengah dan tingkat tinggi setelah khuttab.  Pelajaran yang diajarkan meliputi Al Quran, Tafsir, Hadist dan Fiqh.  Juga diajarkan kesusasteraan, sajak, gramatika bahasa, ilmu hitung dan ilmu perbintangan.
Diantara jasa besar pada periode Dinasti Umayyah dalam perkembangan ilmu pengetahuan adalah menjadikan Masjid sebagai pusat aktifitas ilmiah termasuk sya’ir. Sejarah bangsa terdahulu diskusi dan akidah. Pada periode ini juga didirikan Masjid ke seluruh pelosok daerah Islam. Masjid Nabawi di Madinah dan Masjidil Haram di Makkah selalu menjadi tumpuan penuntut ilmu diseluruh dunia Islam dan tampak juga pada pemerintahan Walid ibn Abdul Malik 707-714 M yang merupakan Universitas terbesar dan juga didirikan Masjid Zaitunnah di Tunisia yang dianggap Universitas tertua sampai sekarang.
Pada Dinasti Umayyah ini, masjid sebagai tempat pendidikan terdiri dari dua tingkat yaitu: tingkat menengah dan tingkat tinggi. Pada tingkat menengah guru belumlah ulama besar sedangkan pada tingkat tinggi gurunya adalah ulama yang dalam ilmunya dan masyhur kealiman dan keahliannya. Umumnya pelajaran yang diberikan guru kepada murid-murid seorang demi seorang, baik di Khuttab atau di Masjid tingkat menengah. Sedangkan pada tingkat pelajaran yang diberikan oleh guru adalah dalam satu Halaqah yang dihadiri oleh pelajar bersama-sama.
3. Majelis Sastra
Majelis sastra merupakan balai pertemuan yang disiapkan oleh khalifah dihiasi dengan hiasan yang indah, hanya diperuntukkan bagi sastrawan dan ulama terkemuka.  Menurut M. Al Athiyyah Al Abrasy “Balai-balai pertemuan tersebut mempunyai tradisi khusus yang mesti diindahkan seseorang yang masuk ketika khalifah hadir, mestilah berpakaian necis bersih dan rapi, duduk di tempat yang sepantasnya, tidak tertawa terbahak-bahak, tidak meludah, tidak mengingus dan tidak menjawab kecuali bila ditanya. Ia  tidak boleh bersuara keras dan harus bertutur kata dengan sopan dan memberi kesempatan pada sipembicara menjelaskan pembicaraannya serta menghindari penggunaan kata kasar dan tawa terbahak-bahak. Dalam balai-balai pertemuan seperti ini disediakan pokok-pokok persoalan untuk dibicarakan, didiskusikan dan diperdebatkan”.
4. Pendidikan Istana
Pendidikan yang diselenggarakan dan diperuntukkan khusus bagi anak-anak khalifah dan para pejabat pemerintahan. Kurikulum pada pendidikan istana diarahkan untuk memperoleh kecakapan memegang kendali pemerintahan atau hal-hal yang ada sangkut pautnya dengan keperluan dan kebutuhan pemerintah, maka kurikulumnya diatur oleh guru dan orang tua murid.
Pada periode Dinasti Umayyah ini terkenal sibuk dengan pemberontakan dalam negeri dan sekaligus memperluas daerah kerajaan tidak terlalu banyak memusatkan perhatian pada perkembangan ilmiah, akan tetapi muncul beberapa ilmuwan terkemuka dalam berbagai cabang ilmu seperti yang dikemukana oleh Abd. Malik Ibn Juraid al Maki dan cerita peperangan serta syair dan Kitabah.
Dibidang syair yang terkenal dikalangan orang Arab diantaranya adalah tentang pujian, syairnya adalah:
Artinya :    “Engkau adalah pengendara kuda yang paling baik, engkau adalah orang yang pemurah di atas dunia ini
Periode Dinasti Umayyah pada bidang pendidikan, adalah menekankan ciri ilmiah pada Masjid sehingga menjadi pusat perkem\bangan ilmu pengetahuan tinggi dalam masyarakat Islam. Dengan penekanan ini di Masjid diajarkan beberapa macam ilmu, diantaranya syair, sastra dan ilmu lainnya.  Dengan demikian periode antara permulaan abad ke dua hijrah sampai akhir abad ketiga hijrah merupakan zaman pendidikan Masjid yang paling cemerlang.
Nampaknya pendidikan Islam pada masa periode Dinasti Umayyah ini hampir sama dengan pendidikan pada masa Khulafa ar Rasyiddin.  Hanya saja memang ada sisi perbedaan perkembangannya.  Perhatian para Khulafa dibidang pendidikan agaknya kurang memperhatikan perkembangannya sehingga kurang maksimal, pendidikan berjalan tidak diatur oleh pemerintah, tetapi oleh para ulama yang memiliki pengetahuan yang mendalam. Kebijakan-kebijakan pendidikan yang dikeluarkan oleh pemerintah hampir tidak ditemukan.  Jadi sistem pendidikan Islam ketika itu masih berjalan secara alamiah karena kondisi ketika itu diwarnai oleh kepentingan politis dan golongan.
Walaupun demikian pada periode Dinasti Umayyah ini dapat disaksikan adanya gerakan penerjemahan ilmu-ilmu dari bahasa lain ke dalam bahasa Arab, tetapi penerjemahan itu terbatas pada ilmu-ilmu yang mempunyai kepentingan praktis, seperti ilmu kimia, kedokteran, ilmu tata laksana dan seni bangunan.  Pada umumnya gerakan penerjemahan ini terbatas keadaan orang-orang tertentu dan atas usaha sendiri, bukan atas dorongan negara dan tidak dilembagakan.  Menurut Franz Rosenthal orang yang pertama kali melakukan penerjemahan ini adalah Khalid ibn Yazid cucu dari Muawwiyah.
Selain kemajuan seperti di atas ilmu pengetahuan yang berkembang pada masa ini adalah:
1. Ilmu agama, seperti: Al-Qur’an, Haist, dan Fiqh. Proses pembukuan Hadist terjadi pada masa Khalifah Umar ibn Abdul Aziz sejak saat itulah hadis mengalami perkembangan pesat.
2. Ilmu sejarah dan geografi, yaitu segala ilmu yang membahas tentang perjalanan hidup, kisah, dan riwayat. Ubaid ibn Syariyah Al Jurhumi berhasil menulis berbagai peristiwa sejarah.
3. Ilmu pengetahuan bidang bahasa, yaitu segla ilmu yang mempelajari bahasa, nahu, saraf, dan lain-lain.
4. Bidang filsafat, yaitu segala ilmu yang pada umumnya berasal dari bangsa asing, seperti ilmu mantik, kimia, astronomi, ilmu hitung dan ilmu yang berhubungan dengan itu, serta ilmu kedokteran


  1. Tokoh-tokoh Pendidikan pada masa Bani Umayyah
Tokoh-tokoh pendidikan pada masa Bani Umayyah terdiri dari ulama-ulama yang menguasai bidangnya masing-masing seperti dalam bidang tafsir, hadist, dan Fiqh. Selain para ulama juga ada ahli bahasa/sastra.
1. Ulama-ulama tabi’in ahli tafsir, yaitu: Mujahid, ‘Athak bin Abu Rabah, ‘Ikrimah, Sa’id bin Jubair, Masruq bin Al-Ajda’, Qatadah. Pada masa tabi’in tafsir Al-Qur’an bertambah luas dengan memasukkan Israiliyat dan Nasraniyat, karena banyak orang-orang Yahudi dan Nasrani memeluk agama Islam. Di antara mereka yang termasyhur: Ka’bul Ahbar, Wahab bin Munabbih, Abdullah bin Salam, Ibnu Juraij.
2.  Ulama-ulama Hadist: Kitab bacaan satu-satunya ialah al-Qur’an. Sedangkan hadis-hadis belumlah dibukukan. Hadis-hadis hanya diriwayatkan dari mulut ke mulut. Dari mulut guru ke mulut muridnya, yaitu dari hafalan uru diberikannya kepada murid, sehingga menjdi hafalan murid pula dan begitulah seterusnya. Setengah sahabat dan pelajar-pelajar ada yang mencatat hadist-hadist itu dalam buku catatannya, tetapi belumlah berupa buku menurut istillah kita sekarang. Ulama-ulama sahabat yang banyak meriwayatkan hadis-hadis ialah: Abu Hurairah (5374 hadist), ‘Aisyah (2210 hadist), Abdullah bin Umar (± 2210 hadist), Abdullah bin Abbas (± 1500 hadist), Jabir bin Abdullah (±1500 hadist), Anas bin Malik (±2210 hadist).
3.  Ulama-ulama ahli Fiqh: Ulama-ulama tabi’in Fiqih pada masa bani Umayyah diantaranya adalah:, Syuriah bin Al-Harits, ‘alqamah bin Qais, Masuruq Al-Ajda’,Al-Aswad bin Yazid kemudian diikuti oleh murid-murid mereka, yaitu: Ibrahim An-Nakh’l (wafat tahun 95 H) dan ‘Amir bin Syurahbil As Sya’by (wafat tahun 104 H). sesudah itu digantikan oleh Hammad bin Abu Sulaiman (wafat tahubn 120 H), guru dari Abu Hanafiah.
4.  Ahli bahasa/sastra: Seorang ahli bahasa seperti Sibawaih yang karya tulisnya Al-Kitab, menjadi pegangan dalam soal berbahasa arab. Sejalan dengan itu, perhatian pada syair Arab jahiliahpun muncul kembali sehingga bidang sastra arab mengalami kemajuan. Di zaman ini muncul penyair-penyair seperti Umar bin Abu Rabiah (w.719), Jamil al-uzri (w.701), Qys bin Mulawwah (w.699) yang dikenal dengan nama Laila Majnun, Al-Farazdaq (w.732), Jarir (w.792), dan Al akhtal (w.710). sebegitu jauh kelihatannya kemajuan yang dicapai Bani Umayyah terpusat pada bidang ekspansi wilayah, bahasa dan sastra arab, serta pembangunan fisik. Sesungguhnya dimasa ini gerakan-gerakan ilmiah telah berkembang pula, seperti dalam bidang keagamaan, sejarah dan filsafat. Dalam bidang yang pertama umpamanya dijumpai ulama-ulama seperti Hasan al-Basri, Ibnu Syihab Az-Zuhri, dan Wasil bin Ata. Pusat kegiatan ilmiah ini adalah Kufah dan Basrah di Irak. Khalid bin Yazid bin Mu’awiyah (w. 794/709) adalah seorang orator dan penyair yang berpikir tajam. Ia adalah orang pertama yang menerjemahkan buku-buku tentang astronomi, kedokteran, dan kimia.
Madrasah/University Pada Masa Bani Umayyah
Perluasan negara Islam bukanlah perluasan dengan merobohkan dan menghancurkan, bahkan perluasan dengan teratur diikuti oleh ulama-ulama dan guru-guru agama yang turut bersama-sama tentara Islam. Pusat pendidikan telah tersebar di kota-kota besar sebagai berikut: di kota Mekkah dan Madinah (HIjaz),di kota Basrah dan Kufah (Irak), di kota Damsyik dan Palestina (Syam), di kota Fistat (Mesir). Madrasah-madrasah yang ada pada masa Bani Umayyah adalah sebagai berikut:
1) Madrasah Mekkah: Guru pertama yang mengajar di Makkah, sesudah penduduk Mekkah takluk, ialah Mu’az bin Jabal. Ialah yang mengajarkan Al Qur’an dan mana yang halal dan haram dalam Islam. Pada masa khalifah Abdul Malik bin Marwan Abdullah bin Abbas pergi ke Mekkah, lalu mengajar disana di Masjidil Haram. Ia mengajarkan tafsir, fiqh dan sastra. Abdullah bin Abbaslah pembangunan madrasah Mekkah, yang termasyur seluruh negeri Islam.
2) Madrasah Madinah: Madrasah Madinah lebih termasyur dan lebih dalam ilmunya, karena di sanalah tempat tinggal sahabat-sahabat nabi. Berarti disana banyak terdapat ulama-ulama terkemuka.
3) Madrasah Basrah: Ulama sahabat yang termasyur di Basrah ialah Abu Musa Al-asy’ari dan Anas bin Malik. Abu Musa Al-Asy’ari adalah ahli fiqih dan ahli hadist, serta ahli Al Qur’an. Sedangkan Abas bin Malik termasyhur dalam ilmu hadis. Al-Hasan Basry sebagai ahli fiqh, juga ahli pidato dan kisah, ahli fikir dan ahli tasawuf. Ia bukan saja mengajarkan ilmu-ilmu agama kepada pelajar-pelajar, bahkan juga mengajar orang banyak dengan mengadakan kisah-kisah di masjid Basrah.
4) Madrasah Kufah: Madrasah Ibnu Mas’ud di Kufah melahirkan enam orang ulama besar, yaitu: ‘Alqamah, Al-Aswad, Masroq, ‘Ubaidah, Al-Haris bin Qais dan ‘Amr bin Syurahbil. Mereka itulah yang menggantikan Abdullah bin Mas’ud menjadi guru di Kufah. Ulama Kufah, bukan saja belajar kepada Abdullah bin Mas’ud menjadi guru di Kufah. Ulama Kufah, bukan saja belajar kepada Abdullah bin Mas’ud. Bahkan mereka pergi ke Madinah.
5) Madrasah Damsyik (Syam): Setelah negeri Syam (Syria) menjadi sebagian Negara Islam dan penduduknya banyak memeluk agama Islam. Maka negeri Syam menjadi perhatian para Khilafah. Madrasah itu melahirkan imam penduduk Syam, yaituAbdurrahman Al-Auza’iy yang sederajat ilmunya dengan Imam Malik dan Abu-Hanafiah. Mazhabnya tersebar di Syam sampai ke Magrib danAndalusia. Tetapi kemudian mazhabnya itu lenyap, karena besar pengaruh mazhab Syafi’I dan Maliki.
6) Madrasah Fistat (Mesir): Setelah Mesir menjadi negara Islam ia menjadi pusat ilmu-ilmu agama. Ulama yang mula-mula madrasah madrasah di Mesir ialah Abdullah bin ‘Amr bin Al-‘As, yaitu di Fisfat (Mesir lama). Ia ahli hadis dengan arti kata yang sebenarnya. Karena ia bukan saja menghafal hadis-hadis yang didengarnya dari Nabi S.A.W., melainkan juga dituliskannya dalam buku catatan, sehingga ia tidak lupa atau khilaf meriwayatkan hadis-hadis itu kepada murid-muridnya. Oleh karena itu banyak sahabat dan tabi’in meriwayatkan hadis-hadis dari padanya. Karena pelajar-pelajar tidak mencukupkan belajar pada seorang ulama di negeri tempat tinggalnya, melainkan mereka melawat ke kota yang lain untuk melanjutkan ilmunya. Pelajar Mesir melawat ke Madinah, pelajar Madinah melawat ke Kufah, pelajar Kufah melawat Syam, pelajar Syam melawat kian kemari dan begitulah seterusnya. Dengan demikian dunia ilmu pengetahuan tersebar seluruh kota-kota di Negara Islam.



  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS


Latar Belakang Munculnya Lembaga Pendidikan Islam di Indonesia
oleh:
Rudi Rudiana Suci Suhendi
Amirudin
Rahmat Herlikas

Pada awal perkembangan Islam di Indonesia, masjid merupakan satu-satunya pusat berbagai kegiatan; baik kegiatan keagamaan, sosial kemasyarakatan, termasuk kegiatan pendidikan. Bahkan kegiatan pendidikan yang berlangsung di masjid dan masih bersifat sederhana kala itu sangat dirasakan oleh masyarakat muslim, maka tidak mengherankan apabila mereka menaruh harapan besar kepada masjid sebagai tempat yang bisa membangun masyarakat muslim yang lebih baik. Awal mulanya masjid mampu menampung kegiatan pendidikan yang diperlukan masyarakat. Namun karena terbatasnya
tempat dan ruang, mulai dirasakan tidak dapat menampung animo masyarakat yang ingin belajar. Maka dilakukanlah berbagai pengembangan secara bertahap hingga berdirinya lembaga pendidikan Islam yang secara khusus berfungsi sebagai sarana menampung kegiatan pembelajaran sesuai dengan tuntutan masyarakat saat itu. Dari sinilah mulai muncul istilah surau, meunasah, dayah, dan juga pesantren.
1- Surau
Istilah surau sebagai lembaga pendidikan Islam muncul di Minangkabau, bahkan istilah ini sudah dikenal sebelum datangnya Islam. Surau dalam sistem adat Minangkabau adalah kepunyaan suku atau kaum sebagai pelengkap rumah gadang yang berfungsi sebagai tempat bertemu, berkumpul, rapat, dan tempat tidur bagi anak laki-laki yang telah akil baligh dan orangtua yang uzur. Karena menurut ketentuan adat Minangkabau bahwa laki-laki yang tak punya kamar di rumah orangtua mereka, diharuskan tidur di surau. Kenyataan ini menyebabkan surau memiliki peranan penting dalam pendewasaan generasi Minangkabau; baik dari segi ilmu pengetahuan maupun keterampilan praktis lainnya.
Setelah Islam datang, fungsi surau tidak berubah, hanya saja fungsi keagamaannya semakin penting yang diperkenalkan pertama kali oleh Syeikh Burhanuddin di Ulakan, Pariaman. Pada masa itu, eksistensi surau di samping sebagai tempat shalat juga digunakan Syekh Burhanuddin sebagai tempat mengajarkan ajaran Islam, khususnya tarekat (suluk) yang dikenal dengan nama tarekat Sattariyah. Melalui tarekat ini, Syekh Burhanuddin menanamkan ajaran Islam kepada masyarakat luas di sekitar Minangkabau.
Semula, lembaga pendidikan surau ini hanya mengajarkan metode membaca Al-Qur’an dan beberapa ilmu Islam seperti aqidah, akhlak, dan ibadah. Waktunyapun dilaksanakan pada malam hari dengan sistem halaqah. Namun secara bertahap sesuai perkembangan zaman, eksistensi surau sebagai lembaga pendidikan Islam mengalami kemajuan, termasuk waktu pelaksanaan kegiatan belajar tidak lagi hanya pada malam hari saja, tapi sudah dilakukan pada siang hari. Dan sedikitnya ada dua jenjang pendidikan surau pada era ini, yaitu:
(1) Pengajaran Al-Qur’an.
Untuk mempelajari Al-Qur’an ada dua macam tingkatan, yakni:
a- Pendidikan Rendah, materi pelajaran pada pendidikan rendah ini mencakup:
  • pelajaran memahami ejaan huruf Al-Qur’an dan membaca Al-Qur’an yang dilaksanakan dengan metode praktik dan latihan;
  • pelajaran cara berwudhu dan tata cara shalat yang dilakukan dengan metode praktik dan menghafal;
  • pelajaran tentang keimanan, terutama yang berhubungan dengan sifat dua puluh yang dipelajari dengan metode menghafal melalui lagu.
  • pelajaran akhlak yang dilakukan dengan metode cerita tentang Nabi-Nabi dan orang-orang shaleh.
b- Pendidikan Atas;
Materi pelajaran pada pendidikan atas ini mencakup pendidikan membaca Al-Qur’an dengan lagu, kasidah, barzanji, tajwid, dan kitab perukunan.
Lama pendidikan untuk kedua jenis pendidikan tersebut tidak ditentukan. Seorang siswa baru dapat dikatakan tamat bila ia telah mampu menguasai setiap materi yang diajarkan dengan baik.
(2) Pengajian Kitab.
Materi pendidikan pada jenjang ini meliputi: ilmu nahwu dan shorf, ilmu fikih, ilmu tafsir, dan ilmu-ilmu lainnya. Metode pengajarannya adalah dengan membaca sebuah Kitab Arab dan kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Melayu, setelah itu baru diterangkan maksudnya. Adapun penekanan pembelajaran pada jenjang ini mengandalkan kekuatan hafalan. Maka agar siswa mampu menghafal dengan cepat, metode pengajarannya dilakukan melalui cara melafalkan materi dengan lagu-lagu.
Sebagai lembaga pendidikan Islam, posisi surau sangat strategis baik dalam proses pengembangan Islam maupun pemahaman terhadap ajaran-ajaran Islam. Bahkan surau telah mampu mencetak para ulama besar Minangkabau dan menumbuhkan semangat nasionalisme, terutama dalam mengusir penjajah Belanda. Namun, seiring perkembangan zaman, metode pengajaran surau dianggap sudah ketinggalan zaman, sehingga harus dimodernisasi. Maka tak heran, bila pendidikan surau saat ini sangat sulit dijumpai.
2- Meunasah
Istilah meunasah sebagai lembaga pendidikan Islam dikenal pada masyarakat Aceh. Sebagian orang mengatakan bahwa istilah meunasah ini berasal dari kata Arab, yaitu Madrasah. Meunasah secara fisik merupakan satu bangunan yang terdapat di setiap gampong yang berbentuk seperti rumah panggung tetapi tidak mempunyai jendela dan bagian-bagian lain. Bangunan ini digunakan sebagai tempat belajar dan berdiskusi serta membicarakan masalah-masalah yang berhubungan dengan kemasyarakatan. Sama seperti kebiasaan anak laki-laki di Minangkabau yang tinggal di surau, maka para anak muda serta laki-laki yang belum menikah di Aceh juga menjadikan meunasah sebagai tempat bermalam mereka. Sehingga tak heran, bila setiap meunasah memfasilitas diri dengan beberapa rumah tinggal yang terletak di sekitar meunasah dengan dilengkapi sumur, bak mandi, dan WC. Di sinilah anak-anak sejak usia dini di gampong, dididik dengan berbagai ilmu pengetahuan agama dan kemasyarakatan.
Meunasah dipimpin oleh seorang teungku meunasah. Biasanya, setiap kampung di Aceh memiliki minimal satu meunasah. Gampong yang memiliki beberapa meunasah, tetap dipimpin oleh satu teungku, sebagai pasangan dua sejoli dengan keuchik. Maksudnya, walau dalam gampong terdapat beberapa meunasah, kedudukan keuchik dan teungku meunasah tetap seperti ayah dan ibu (yah dan ma) yang memiliki tugas dan wewenang masing-masing serta saling membantu satu sama lain.
Mengenai peran meunasah, Syofwan Idris (2001) sebagaimana yang dikutip oleh Sulaiman Tripa dalam artikel yang dimuat di http://www.acehinstitute.org menyebutkan bahwa Meunasah sebenarnya bukan saja lembaga pendidikan tetapi merupakan lembaga yang banyak sekali fungsinya dalam masyarakat gampong. Di sini orang mengaji, berjama’ah, bermusyawarah, mengadili pencuri, mengadakan dakwah, mengadakan kenduri, sebagai pos keamanan dan tempat tidur anak muda yang belum kawin, dan duda yang berpisah dengan isterinya. Dan lembaga seperti ini memberikan pendidikan yang sangat komprehensif, aktual dan terpadu kepada anak-anak.
Sebenarnya dalam budaya adat Aceh, peran meunasah dan masjid merupakan satu kesatuan yang tak pernah bisa dipisahkan. Kedua lembaga ini merupakan simbol/logo identitas keacehan yang telah berkontribusi fungsinya membangun pola dasar SDM masyarakat menjadi satu kekuatan semangat yang monumental, historis, herois dan sakralis. Fungsi lembaga ini memiliki muatan nilai-nilai aspiratif, energis, Islamis, menjadi sumber inspiratif, semangat masyarakat membangun penegakan keadilan dan kemakmuran serta menentang kedhaliman dan penjajahan. Fungsi-fungsi itu antara lain :
  1. Fungsi Meunasah, sebagai tempat ibadah/shalat berjamaah; dakwah dan diskusi; musyawarah/mufakat; penyelesaian sengketa/damai; pengembangan kreasi seni; pembinaan dan posko generasi muda; forum asah terampil/olahraga; serta sebagai pusat ibukota/pemerintahan gampong.
  2. Fungsi Mesjid, sebagai tempat ibadah/Jum`at; pengajian pendidikan; musyawarah/ penyelesaian sengketa/damai; dakwah; pusat kajian dan sebaran ilmu; acara pernikahan; serta sebagai simbol persatuan dan kesatuan umat.
Dari poin-poin di atas menunjukkan bahwa fungsi meunasah dan masjid memiliki peran yang sama, yakni sebagai lembaga pengkaderan dan pembinaan umat yang diharapkan mampu melahirkan generasi serta masyarakat berkualitas guna mewujudkan kesejahteraan masyarakat yang aman damai, baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur.
Sebagai lembaga pendidikan tingkat dasar, keberadaan meunasah sangat mempunyai arti di Aceh. Semua orangtua memasukkan anaknya ke meunasah. Dengan kata lain, meunasah merupakan madrasah wajib belajar bagi masyarakat Aceh masa lalu. Oleh karena itu, tidaklah mengherankan apabila orang Aceh mempunyai fanatisme agama yang tinggi. Dan bahkan hingga saat ini, eksistensi meunasah tetap dipertahankan sebagai lembaga pendidikan Islam non formal.
Selain meunasah, di Aceh juga sudah ada dan berkembang sejak lama lembaga pendidikan Islam yang bernama “Dayah”. Dayah adalah kata yang digunakan untuk sebuah lembaga pendidikan Islam yang sama dan setara dengan pesantren. Dan sehubungan dengan kesamaan makna dan fungsi antara dayah dan pesantren, maka untuk pembahasan mengenai “dayah” akan penulis rangkumkan dalam pembahasan pesantren.
3- Pesantren
Menurut asal katanya, pesantren berasal dari kata santri yang mendapat imbuhan awalan pe dan akhiran an yang menunjukkan tempat. Dengan demikian, pesantren artinya tempat para santri. Sedangkan menurut Sudjoko Prasojo bahwa Pesantren adalah lembaga pendidikan dan pengajaran agama, umumnya dengan cara non-klasikal, dimana seorang kiayi mengajarkan ilmu agama Islam kepada santri-santri berdasarkan kitab-kitab yang ditulis dalam bahasa Arab oleh ulama abad pertengahan, dan para santri biasanya tinggal di pondok (asrama) dalam pesantren tersebut. Bagi masyarakat Aceh, istilah pesantren lebih dikenal dengan nama “dayah”.
Pesantren adalah lembaga pendidikan Islam asli Indonesia dan memiliki akar sangat kuat dalam kehidupan masyarakat. Keberadaan sistem pendidikan pesantren bahkan telah ada jauh sebelum kedatangan Islam di negeri ini, yaitu pada masa Hindu-Budha. Pada saat itu pesantren merupakan lembaga pendidikan keagamaan yang berfungsi mencetak elit agama Hindu-Budha. Sehingga dalam hal ini tak heran bila C.C. Berg berpendapat bahwa istilah “santri” itu berasal kata India Shastri, berarti orang-orang yang tahu buku-buku suci Agama Hindu, atau seorang sarjana ahli kitab suci Agama Hindu. Kata Shastri sendiri berasal dari kata shastra yang berarti buku-buku suci, buku-buku Agama atau pengetahuan. Terlepas benar tidaknya istilah tersebut, yang jelas kehadiran lembaga pendidikan pesantren tidak dapat dipisahkan dari tuntutan umat Islam hingga saat ini, serta telah menjadi pusat berlangsungnya proses pembelajaran ilmu-ilmu keislaman bagi masyarakat Indonesia. Bahkan dalam perspektif kependidikan, pesantren merupakan satu-satunya lembaga pendidikan yang tahan terhadap berbagai arus modernisasi. Dengan kata lain, pesantren dapat memposisikan dirinya sebagai lembaga pendidikan yang mampu bersaing dan sekaligus bersanding dengan sistem pendidikan modern yang bermunculan dari waktu ke waktu.
Bertitik tolak dari akar sejarah pesantren atau sebut saja asal-usul pesantren tidak bisa dipisahkan dari sejarah pengaruh Walisongo abad 15-16 di Jawa. Pesantren merupakan lembaga pendidikan Islam yang unik di Indonesia. Walisongo adalah tokoh-tokoh penyebar Islam di Jawa abad 16 – 15 yang telah berhasil mengkombinasikan aspek-aspek sekuler dan spiritual dalam memperkenalkan Islam pada masyarakat. Keunikan yang dimaksud adalah hampir semua pesantren di Indonesia ini dalam mengembangkan pendidikan kepesantrenannya berkiblat pada ajaran Walisongo. Kemudian seiring perkembangan zaman dan keilmuwan yang dimiliki oleh para pendiri pesantren sesudahnya, maka corak pesantren-pesantren di Indonesia mulai terlihat bervariasi.
Meski begitu, secara umum ciri-ciri pesantren dapat kita lihat sebagai berikut:
  • ada Kiyai, yang mengajar dan mendidik;
  • ada santri, yang belajar dari kiyai;
  • ada masjid, tempat untuk menyelenggarakan pendidikan, shalat berjamaah dan sebagainya; dan
  • ada pondok, tempat untuk tinggal para santri.
Di samping ciri-ciri di atas, ada juga pesantren yang memiliki fasilitas-fasilitas pendukung lainnya, seperti sarana olahraga dan ruang keterampilan dan pelatihan, yang tentunya disesuaikan dengan kebutuhan dan kemampuan pesantren itu sendiri.
Mengenai materi pelajaran dan metode pengajaran, biasanya pesantren mengajarkan kitab-kitab dalam bahasa Arab (kitab kuning), materi tersebut mencakup pelajaran Al-Qur’an, tajwid serta tafsir, aqa’id dan ilmu kalam, fiqih dan ushul fiqh, hadits dan musthalahul hadits, bahasa Arab dengan ilmu-ilmu qawaidhnya, tarikh, mantiq dan tasawuf. Dan metode yang digunakan adalah metode ceramah, hafalan, bahkan ada juga yang menggunakan sistem klasikal dengan metode pembelajaran yang bervariasi. Di beberapa pesantren, ada yang selain memberikan pelajaran dan pendidikan agama, juga memberikan wiridan, seperti Naqsabandiyah, Syatariyah, dan lain-lain. Ada pula yang menambahkan kegiatan-kegiatan di luar pendidikan formal, seperti pramuka, ketrampilan, olahraga dan sebagainya, sesuai kemampuan masing-masing pondok pesantren. Meski begitu, satu hal yang sama dari pondok-pondok pesantren tersebut adalah pada penekanan pendidikan dan pengajaran agama Islam, yang menjadi ciri khas dari pesantren tersebut.
Selain itu, ada beberapa ciri dan keunikan yang sangat menonjol dalam kehidupan pesantren, sehingga membedakannya dengan sistem pendidikan lainnya. Sedikitnya ada delapan ciri pendidikan pesantren tersebut, yaitu:
  • Adanya hubungan yang akrab antara santri dan kiayi.
  • Tunduknya santri kepada kiyai.
  • Hidup hemat dan sederhana.
  • Semangat hidup mandiri.
  • Jiwa tolong menolong dan suasana persaudaraan.
  • Penekanan pada pendidikan disiplin.
  • Berani menderita untuk mencapai suatu tujuan.
  • Santri memperoleh kehidupan agama yang baik.
Sebagai lembaga pendidikan yang masih eksis hingga hari ini, pesantren memiliki banyak PR dan tantangan dalam menghadapi arus informasi dan globalisasi yang dewasa ini susah terbendung. Dalam kondisi seperti itu, pesantren tidak boleh menutup diri dari arus perubahan, namun tidak boleh juga terbawa dan tergilas oleh arus perubahan tersebut, melainkan harus mampu memposisikan diri secara proporsional. Sehingga dengan begitu, pesantren tetap mampu hadir di setiap zaman tanpa harus merubah warna dan baju yang menjadi simbol serta karakteristiknya. Dengan peran strategis pesantren yang terus dipertahankan, diharapkan dapat mengembalikan kejayaan umat Islam yang pernah menyinari dunia dengan ilmunya.
Kebangkitan Pesantren-Pesantren Modern
Sudah banyak diketahui bahwa peran pesantren secara konvensional adalah melakukan proses transfer ilmu agama Islam, mencetak kader-kader ulama’, dan mempertahankan tardisi. Dalam perkembangan modern, pesantren-pesantren menghadapi tantangan baru, di mana tidak bisa mengelak lagi dari proses modernisasi dewasa ini. Dampak dari modernisasi setidaknya mempengaruhi pesantren tersebut dari berbagai aspek. Di antaranya adalah sistem kelembagaan, orientasi hubungan kiyai-santri, kepemimpinan dan peran pesantren itu sendiri.
Orientasi peran pesantren sangat dipengaruhi oleh faktor internal pesantren, terutama pandangan dunia kiyainya; dan faktor ekstrenal, yaitu perkembangan dan tuntutan zaman (sebut saja pengaruh globalisasi). Dan kedua faktor inilah yang mempengaruhi perkembangan dan orientasi pesantren tersebut.
Beberapa pesantren yang awalnya hanya mengajarkan kitab-kitab kuning dan bertujuan mencetak kader ulama’, kemudian berubah dengan menawarkan sekolah formal, seperti madrasah atau sekolah; adalah bukti bahwa pesantren telah mengalami perubahan orientasi. Perubahan ini terutama sekali dipengaruhi oleh faktor kiyai, yang dalam pesantren tradisional adalah pemilik sekaligus pemimpin absolut dari pesantren tersebut. Persinggungan kiyai-kiyai tradisional dengan budaya luar, baik melalui ibadah haji maupun kegiatan lainnya, turut menyumbangkan gagasan pembaruan yang dilakukan kiyai. Para Kiyai yang sudah ”modern” itu beranggapan bahwa santri tidak cukup dibekali dengan pengetahuan agama semata, melainkan harus memiliki tambahan pengetahuan yang bermanfaat bagi kehidupannya ketika terjun dan kembali kemasyarakat
Beberapa pesantren yang membuka sekolah dan madrasah formal, selain karena gagasan pembaruan kiyai, juga disebabkan karena tuntutan zaman. Oleh karenanya pesantren-pesantren yang membuka sekolah dan madrasah sedikit banyak dipengaruhi oleh kebutuhan masyarakat tentang tenaga profesional yang memiliki akhlak mulia. Dan agar terlihat berbeda dengan pesantren tradisional, mereka meletakkan kata “modern” pada penyebutan nama pesantren tersebut.
Sesungguhnya dalam perkembangan modern seperti saat ini, tuntutan peran pesantren semakin kompleks. Problem-problem sosial ekonomi yang terjadi di masyarakat, seperti masalah disintegrasi, kemiskinan, kemunduran akhlak sudah semakin terbuka dan merajalela di masyarakat. Pesantren diharapkan tidak saja mampu menyelesaikan masalah-masalah yang terkait dengan faham keagamaan, tetapi juga diharapkan dapat terlibat menyelesaikan masalah-masalah sosial tersebut. Dan sejauh pengamatan penulis, pesantren yang berlogokan modern ini memiliki banyak peluang dan kesempatan untuk terlibat aktif dalam menuntaskan berbagai problematika masyarakat. Apalagi pesantren modern ini memiliki kedekatan emosional dengan masyarakat karena sifat egalitar dan kesahajaannya yang memungkinkannya dapat berinteraksi secara intensif dengan masyarakat. ( by: Indra El Muda )
<><><><> 
DAFTAR PUSTAKA
Ali, H.A. Mukti, Beberapa Persoalan Agama Dewasa Ini, Jakarta: Rajawali Pers, 1987
Daud, Zahrul Bawady, Dayah Bukan Institute Alternatif, Aceh Institute: Riset & Artikel, http://id.acehinstitute.org
Daulay, Haidar Putra, Sejarah Pertumbuhan dan Pembaruan Pendidikan Islam di Indonesia,Jakarta: Kencana Prenada Media Group, Cet. II, 2007
Haningsih, Sri, Peran Strategis Pesantren, Madrasah dan Sekolah Islam di Indonesia, Jurnal Pendidikan Islam El-Tarbawi, No. 1, vol. I, 2008
Nasution, Hasan Mansur, (Editor), Masjid, Agama, dan Pendidikan untuk Kemajuan Bangsa,Bandung: Ciptapusaka Media Perintis, 2009
Nata, Abuddin (Editor), Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan Lembaga-Lembaga Pendidikan Islam di Indonesia, Jakarta: Grasindo, 2001
Subhan, Arief, Mencari Titik Tolak: Asal Usul Pesantren, Ciputat: Jurnal Madrasah Vol 2, No. 4, 1999
Tripa, Sulaiman, Meunasah, Ruang Serbaguna Masyarakat Aceh, Aceh Institute: Riset & Artikel,  http://www.acehinstitute.org
Zulfah, Kedudukan Meunasah dan Masjid Dalam Sistem Sosial Masyarakat Aceh, Aceh Forum Community: http://www.acehforum.or.id

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS